Pasang iklan murah bayar pulsa, klik disini
Pasang iklan murah bayar pulsa, klik disini

Catatan Haul Keempat Kiai Sahal & Kiai Mahfudz.

KIAI MAHFUDZ SALAM DALAM KENANGAN KIAI SAHAL MAHFUDH : Catatan Haul Keempat Kiai Sahal & Kiai Mahfudz.


Oleh : Ning Tutik N. Jannah

Catatan Haul Keempat Kiai Sahal & Kiai Mahfudz.

Kiai Sahal Mahfudh wafat pada bulan yang sama dengan ayahandanya, Kiai Mahfudz Salam. Meski hanya hingga usia belasan tahun beliau berada dalam pengampuan ayahandanya, namun tak dapat dipungkiri, ayahandanya lah inspirator utama dalam hidupnya.

Kiai Mahfudz adalah sosok yang memiliki kepribadian yang kuat. Beliau akan menunjukkan sikap kooperatif dan lentur pada saat yang dibutuhkan. Namun akan bersikap keras dan tanpa kompromi, jika itu diperlukan. Baik sikap kooperatif maupun sikap tanpa kompromi itu semua beliau tujukan demi sesuatu yang dirasa berhubungan langsung dengan kemaslahatan umat.

Mengenai keteguhan sikap kiai Mahfudz ini saya tangkap melalui penuturan kiai Sahal Mahfudh dalam beberapa kali kesempatan saat beliau menceritakan kembali tentang ayahandanya itu.

Kiai Sahal bercerita bahwa sebelum akhirnya Kiai Mahfudz mengambil sikap perlawanan kepada pemerintah kolonial Belanda, ketika kecil, Kiai Sahal beberapakali menyaksikan tamu tamu belanda bertandang ke ndalem ayahandanya. Saat itu, perbincangan antara Kiai Mahfudz dan tamu Belandanya itu selalu tampak akrab, hal ini dapat dilihat jelas oleh Kiai Sahal karena dengan menggunakan bahasa melayu, kiai Mahfudz meminta putranya itu menyuguhkan air minum. Bahkan menurut Kiai Sahal, sewaktu beberapa madrasah di wilayah pati mengalami persoalan perizinan, dan Kiai setempat matur kepada Kiai mahfudz, maka beliau lah yang langsung berkomunikasi dengan pemerintah setempat agar madrasah yang bersangkutan tidak memperoleh hambatan dalam pelaksanaan proses belajar mengajar.
Namun sikap kooperatif Kiai Mahfudz berubah menjadi perlawanan fisik saat beliau melihat bahwa kondisi yang membahayakan umat sedang terjadi. Saat itu dunia sedang mengalami zaman peralihan, Jepang sedang merangsek memperluas kekuasaannya. Dunia bergerak menuju perang dunia kedua. Menjelang terjadinya perang dunia kedua itu kondisi kuasa Belanda mulai melemah di beberapa titik wilayah kekuasaannya. Melemahnya otoritas pemerintah kolonial Belanda ini menyebabkan kondisi keamanan di daerah-daerah tidak terkendali. Perampokan terjadi di mana-mana akibat kondisi ekonomi yang tidak menentu.

Saat itulah, timbul kekhawatiran dalam hati Kiai Mahfudz atas meluasnya kekacauan yang membahayakan aset umat. Pati yang dijuluki bumi minatani karena rakyatnya rata rata bermatapencaharian sebagai petani dan nelayan, waktu itu banyak yang memanfaatkan pegadaian sebagai salah satu tempat memutarkan asetnya. Saat musim tanam atau musim berlayar, masyarakat akan menggadaikan barang barang yang dimilikinya guna mendapatkan modal bertanam atau berlayar. Sedangkan saat musim panen atau kala ikan hasil berlayar telah berhasil dilelang, maka barang gadai akan di tebus kembali. Hal ini menunjukkan bahwa dalam masa tersebut pegadaian adalah bagian penting dari pergerakan ekonomi masyarakat.

Kondisi ini dalam pandangan Kiai Mafudz jika tidak segera diatasi, maka akan membahayakan kepentingan umat. Karenanya, meski sebelumnya, Kiai Mahfudz memiliki hubungan baik dengan pemerintah kolonial Belanda, namun saat kondisi masyarakat terancam, maka Kiai Mahfudz tak segan untuk memutuskan angkat senjata. Kiai Mahfudz angkat senjata, menyelamatkan aset umat dengan cara memerintahkan santri-santrinya untuk "menguasai" pegadaian demi menyelamatkan aset umat.

Peristiwa pegadaian inilah yang kemudian menjadi alasan bagi pemerintah kolonial untuk menjadikan Kiai Mahfudz sebagai target utama penangkapan. Beliau dianggap sebagai ulama yang membahayakan karena pengaruh perlawanan terhadap pemerintah kolonial yang beliau kobarkan. Belanda berusaha untuk menangkap Kiai Mahfudz. Hingga membuat Kiai Mahfudz mengungsi bersama keluarga dan beberapa santri. Bahkan beberapa santri tercatat menyelesaikan hafalan al Qurannya kepada beliau dalam pengungsian.

Beberapa waktu beliau mengungsi di Senori, hingga kemudian konon karena seorang matamata pribumi yang membocorkan keberadaan beliau kepada pemerintah kolonial Belanda, sehingga dalam perjalanan kereta saat memutuskan pindah dari Senori. Kiai Mahfudz ditangkap dan dimasukkan ke sebuah penjara di Ambarawa. Hingga kemudian akhirnya Kiai Mahfudz wafat, satu hal penting yang dipegang oleh Kiai Sahal dari wasiat Kiai Mahfudz, yakni agar keluarga tidak mencari di mana makam beliau. Entah, apa sirr (rahasia) di balik wasiat tersebut. Namun begitulah piyantun piyantun mulya itu kadang memiliki kelembutan hati yang bisa menembus rahasia masa depan yang tidak dapat diketahui oleh orang orang biasa semacam kita.

Penuturan Kiai Sahal yang saya dengar berulang-ulang dalam berbagai kesempatan ini, menunjukkan bahwa ayahandanya itu bukanlah sosok yang melulu keras dalam bersikap. Kiai Mahfudz adalah ulama yang sangat bijak dalam mengambil keputusan. Kooperatif saat dibutuhkan, tanpa kompromi saat diperlukan. Dan mungkin yang seperti inilah yang sulit dicari padanannya dari kepribadian pemimpin umat zaman sekarang.
Kagem beliau Kiai Mahfudz Salam dan Kiai Sahal Mahfudh serta orang orang tercinta yang telah mendahului kita, Alfatihah...


Kajen, 2017

Subscribe to receive free email updates: