Pasang iklan murah bayar pulsa, klik disini
Pasang iklan murah bayar pulsa, klik disini

Download Makalah PEMERINTAHAN INDONESIA DAN HUKUM SYARI’AT ISLAM

Berikut ini kami postingkan makalah dengan judul “PEMERINTAHAN INDONESIA DAN HUKUM SYARI’AT ISLAM”, makalah ini merupakan makalah Pendidikan Agama Islam.

Judul Pencarian makalah ini antara lain : PENEGAKAN SYARIAH ISLAMDI INDONESIA, syari'at islam dan politik hukum nasional indonesia, penerapan syari'at islam dalam bingkai negara bangsa, Syariat Islam Versus Negara Pancasila, Hukum Islam dan Pengaruhnya Terhadap Hukum Nasional,
 

Silahkan bagi yang membutuhkan makalah pendidikan agama islam dengan judul “PEMERINTAHAN INDONESIA DAN HUKUM SYARI’AT ISLAM” bisa mendownloadnya dibawah ini :


Berikut ini isi dari makalah dengan judul PEMERINTAHAN INDONESIA DAN HUKUM SYARI’AT ISLAM


BAB II

PEMBAHASAN

Sunnah Rasulullah SAW Dalam Menghadapi Pemerintah

Allah S.W.T berfirman:
”Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S An Nisaa: 59)

Sabda Rasulullah S.A.W:
”Barangsiapa yang mentaatiku maka dia mentaati Allah dan sesiapa yang menderhakaiku maka dia juga menderhakai Allah dan barangsiapa yang mentaati pemerintah maka dia mentaati aku dan sesiapa yang derhaka pada pemerintah maka dia menderhakaiku.” [Hadis Sahih: Riwayat Bukhari, Muslim, an-Nasai, Ibn Majah, dan Ahmad]

Berdasarkan ayat dan hadis di atas ulama’ Ahlus Sunnah wal Jamaah telah sepakat bahwa mentaati pemerintah muslim itu adalah wajib.

Ahlus Sunnah wal Jamaah

Dijelaskan dalam sebuah hadits bahwa umat Islam terpecah menjadi 73 kelompok dan hanya satu kelompok yang dipastikan selamat dan jaya di dunia dan akhirat. Para ulama kita sepakat bahwa satu kelompok yang dijamin selamat tersebut adalah kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah. Namun seiring waktu, hakikat Ahlussunnah wal Jama’ah menjadi semakin pudar dan asing, bahkan bertolak belakang dengan paham keumuman. Tulisan ini mencoba menuntun Anda dalam memaknai Hakikat Ahlussunnah wal Jama’ah

Ahlus Sunnah wal Jamaah ialah: Mereka yang menempuh seperti apa yang pernah ditempuh oleh Rasulullah ‘Alaihi Asholatu wa Sallam dan para Shahabatnya Radhiyallahu Ajma’in. Disebut Ahlus Sunnah, karena kuatnya (mereka) berpegang dan berittiba’ (mengikuti) Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya Radhiyallahu Ajma’in.

As-Sunnah menurut bahasa adalah jalan/cara, apakah jalan itu baik atau buruk. Sedangkan menurut ulama ‘aqidah, as-Sunnah adalah petunjuk yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqad (keyakinan), perkataan maupun perbuatan. Dan ini adalah as-Sunnah yang wajib diikuti, orang yang mengikutinya akan dipuji dan orang-orang yang menyalahinya akan dicela. [Buhuuts fii ‘Aqidah Ahlis Sunnah, hal. 16]

Pengertian as-Sunnah menurut Ibnu Rajab al-Hanbaly Rahimahullah (wafat 795 H): “As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh kepada apa yang dilaksanakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khalifahnya yang terpimpin dan lurus berupa i’tiqad (keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah as-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu generasi Salaf terdahulu tidak menamakan as-Sunnah kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Imam Hasan al-Bashry (wafat th. 110 H), Imam al-Auza’iy (wafat th. 157 H) dan Imam Fudhail bin ‘Iyadh (wafat th. 187 H).” [Jaami’ul ‘Uluum wal Hikaam (hal. 495) oleh Ibnu Rajab]

Disebut al-Jama’ah, karena mereka bersatu di atas kebenaran, tidak mau berpecah belah dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para Imam (yang berpegang kepada) al-haq/kebenaran, tidak mau keluar dari jama’ah mereka dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan Salaful Ummah. [Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqiidah]

Jama’ah menurut ulama ‘aqidah adalah generasi pertama dari umat ini, yaitu kalangan Shahabat, Tabi’in serta orang-orang yang mengikuti dalam kebaikan hingga hari kiamat, karena berkumpul di atas kebenaran.

Kata Imam Abu Syammah as-Syafi’i Rahimahullah (wafat th. 665 H): “Perintah untuk berpegang kepada jama’ah, maksudnya ialah berpegang kepada kebenaran dan mengikutinya. Meskipun yang melaksanakan Sunnah itu sedikit dan yang menyalahinya banyak. Karena kebenaran itu apa yang dilaksanakan oleh jama’ah yang pertama, yaitu yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya tanpa melihat kepada orang-orang yang menyimpang (melakukan kebathilan) sesudah mereka.”

Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang yang mempunyai sifat dan karakter mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi perkara-perkara yang baru dan bid’ah dalam agama.

Karena mereka adalah orang-orang yang ittiba’ (mengikuti) kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti Atsar (jejak Salaful Ummah), maka mereka juga disebut Ahlul Hadits, Ahlul Atsar dan Ahlul Ittiba’.

Berkata Syeikh Thahawi dalam matan ‘Aqidah:
”Dan bukanlah dari ‘aqidah kami -ahli sunnah- menentang pemerintah walaupun mereka itu berlaku zalim dan tidak pula kami mendoakan kejahatan atas mereka, adapun ‘aqidah kami adalah mentaati mereka itu bermakna mentaati Allah Azza wa Jalla yaitu satu kefardhuan atas kami selama mana mereka tidak menyuruh melakukan maksiat dan kami mendoakan mereka dengan kebaikan dan keampunan.”

Berdasarkan ayat terdahulu Allah S.W.T meletakkan syarat pemerintah yang wajib ditaati itu adalah muslim berdasarkan "منكم"(dari Kamu).

Ketaatan kepada pemimpin adalah muqayyad atau tertakluk kepada apa yang bersesuaian dengan syariat Allah adapun yang menyelisihi syara’ maka tiada taat bahkan haram dan wajib ketika itu menasihati pemerintah dan menyuruh kepada makruf.
Dalam hadis Sahih daripada Syaikhan:
”Dari Ibn Umar R.A., Nabi SAW bersabda: Wajib atas muslim itu mematuhi pemerintah dalam perkara yang ia suka mahupun tidak melainkan apabila diperintah melakukan maksiat maka ketika itu tidak wajib lagi taat.” [Hadis Sahih: Riwayat Bukhari dan Muslim]

Perkataan أولي الأمر menurut ulama’ tafsir merangkumi semua jenis pengausa ‘am dan khas seperti raja,menteri,khalifah,ulama’ dan penguasa agama seperti mufti dan ibu bapa serta suami.

Kewajiban ini mentaati pemerintah ini datang setelah pemerintah itu melaksanakn keadilan dan menunaikan amanah yang dipertanggungjawabkan atasnya. Ini berdasarkan ayat sebelum ayat ini yaitu surah an-Nisaa’ ayat 58:



“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” ((Q.S An Nisaa: 58)

Ayat ini Allah S.W.T menujukan khitabnya pada pemerintah untuk melakukan keadilan dan kesaksamaan dan menunaikan amanah dengan baik kemudian Allah SWT berpesan pula kepada rakyat untuk mentaati pemerintah dalam ma’ruf.


Indonesia Bukan Negara Islam, Layakkah Ditaati?

Para ulama kaum muslimin seluruhnya sepakat akan kewajiban taat kepada pemerintah muslim dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena Allah Tabaraka wa Ta’ala telah memerintahkan hal tersebut sebagaimana dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (Q.S An-Nisaa: 59)

Demikian pula, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah berwasiat:
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا
“Aku wasiatkan kalian agar senantiasa taqwa kepada Allah serta mendengar dan taat kepada pemimpin (negara) meskipun pemimpin tersebut seorang budak dari Habasyah.” (HR. Abu Dawud, dan At-Tirmidzi)

Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah menjelaskan diantara prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah:

“Dan kami tidak memandang bolehnya memberontak kepada para pemimpin dan pemerintah kami, meskipun mereka berbuat zhalim. Kami tidak mendoakan kejelekan kepada mereka. Kami tidak melepaskan diri dari ketaatan kepada mereka dan kami memandang ketaatan kepada mereka adalah ketaatan kepada Allah sebagai suatu kewajiban, selama yang mereka perintahkan itu bukan kemaksiatan (kepada Allah). Dan kami doakan mereka dengan kebaikan dan keselamatan.” (Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi Al-Hanafi rahimahullah)

AI-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah juga menukil ijma’. Dari Ibnu Batthal rahimahullah, ia berkata: “Para fuqaha telah sepakat wajibnya taat kepada pemerintah (muslim) yang berkuasa, berjihad bersamanya, dan bahwa ketaatan kepadanya lebih baik daripada nnemberontak.” (Fathul Bari, 13/7)


Bolehkah Membangkang Kepada Pemerintah Indonesia karena Tidak Berhukum dengan Syari’at Islam?

Telah dimaklumi bersama bahwa pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini adalah pemerintah muslim. Sebagaimana juga dimaklumi bahwa hukum Islam belum diterapkan secara menyeluruh di negeri tercinta ini. Apakah dengan sebab tersebut pemerintah (dan rakyatnya) telah menjadi murtad? Kemudian boleh bagi kaum muslimin memberontak atau membangkang kepada pemerintah Indonesia?

Syubhat ini dijawab oleh Faqihul ‘Ashr Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam fatwa berikut ini:

Pertanyaan: Fadhilatusy Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya tentang hukum menaati pemerintah yang tidak berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulillah shallallaahu ‘alaihi wa sallam?

Jawab: “Pemerintah yang tidak berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah tetap wajib ditaati dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta tidak wajib memerangi mereka dikarenakan hal itu, bahkan tidak boleh diperangi kecuali kalau ia telah menjadi kafir, maka ketika itu wajib untuk menjatuhkannya dan tidak ada ketaatan baginya.

Berhukum dengan selain Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya sampai kepada derajat kekufuran dengan dua syarat:

1. Dia mengetahui hukum Allah dan Rasul-Nya. Kalau dia tidak tahu, maka dia tidak menjadi kafir karena penyelisihannya terhadap hukum Allah dan Rasul-Nya.

2. Motivasi dia berhukum dengan selain hukum Allah adalah keyakinan bahwa hukum Allah sudah tidak cocok lagi dengan zaman ini dan hukum lainnya lebih cocok dan lebih bermanfaat bagi para hamba.

Dengan adanya kedua syarat inilah perbuatan berhukum dengan selain hukum Allah menjadi kekufuran yang mengeluarkan dari Islam, berdasarkan firman Allah:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَآ أَنْزَلَ اللهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Q.S Al-Maidah: 44)

Pemerintah yang demikian telah batal kekuasaannya, tidak ada haknya untuk ditaati rakyat, serta wajib diperangi dan dilengserkan dari kekuasaan.

Adapun jika dia berhukum dengan selain hukum Allah, namun dia tetap yakin bahwa berhukum dengan apa yang diturunkan Allah itu adalah wajib dan lebih baik untuk para hamba, tetapi dia menyelisihinya karena hawa nafsu atau hendak menzalimi rakyatnya, maka dia tidaklah kafir, melainkan fasik atau zhalim, dan kekuasaannya tetap sah.

Mentaatinya dalam perkara yang bukan kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah wajib. Tidak boleh diperangi, atau dilengserkan dengan kekuatan (senjata) dan tidak boleh memberontak kepadanya. Sebab Nabi shallallahu’alaihi wa sallam melarang pemberontakan terhadap pemerintah (muslim) kecuali jika kita melihat kekafiran nyata dimana kita mempunyai alasan (dalil) yang jelas dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibni ‘Utsaimin, 2/147-148, no. 229)

Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah juga menjelaskan, “Apabila seorang pemimpin muslim berhukum dengan selain hukum Allah, maka tidak boleh dihukumi kafir kecuali dengan syarat-syarat: Pertama: Dia tidak dipaksa melakukannya. Kedua: Dia tahu bahwa hukum tersebut bukan hukum Allah. Ketiga: Dia memandang hukum tersebut sama baiknya atau bahkan lebih baik dari hukum Allah.” (Lihat Al-Makhraj minal Fitnah, hal. 82)




Apabila pemerintah itu berlaku zalim

Dalam menghadapi masalah ini Rasulullah SAW. telah memberikan petunjuk yang amat baik sekali dalam hadis-hadis baginda yang sahih:

”Dari Ibn Abbas R.A.: Bahwa Rasulullah SAW. bersabda: Barang siapa yang benci pada pemerintahnya sesuatu (daripada maksiat) maka hendaklah dia bersabar kerana sesiapa yang menentang pemerintah maka dia mati sebagai mana orang Jahiliyyah. [Hadis Sahih: Muttafaq ‘Alaih – Riyadhus Solihin]

“Dari Junadah bin Abi Umayyah berkata: Kami menemui Ubadah bin Samit ketika dia sakit dan kami berkata padanya: Ceritakanlah pada kami-semog Allah menyembuhkan kamu- akan suatu hadis yang bermanfaat yang engkau dengar dari Rasulullah SAW. maka dia berkata: Rasulullah menyeru kami lalu kami membaiat baginda dan antara isi baiat itu; hendaklah kami dengar dan taat ketika suka dan benci, susah dan senang dan yang memeberi kesan pada kami dan janganlah kami mencabut urusan (pemerintahan) daripada ahlinya melainkan engkau melihat padanya(pemerintah) kufur yang nyata yang kamu boleh buktikannya di hadapan Allah.” [Hadis Sahih: Riwayat Muslim]

”Dari Ummu Salamah bahawa Rasulullah SAW. berkata: Akan ada pemimpin-pemimpin yang kamu kenal dan kamu ingkarinya(kerana maksiatnya) maka sesiapa yang menegnali maksiat itu maka dia terlepas (tidak terjebak dalamnya) dan sesiapa yang ingkar maka dia selamat tetapi (yang berdosa adalah) mereka yang redha dan ikut. Mereka(Sahabat) berkata: Apakah tidak boleh kami memerangi mereka? Kata baginda: tidak boleh selagi mereka solat.” [Hadis Sahih: Riwayat Muslim]

”Dari ‘Auf bin Malik daripada Rasulullah SAW. baginda bersabda: Sebaik-baik pemimpin kamu adalah yang kamu menyukai mereka dan mereka menyukai kamu, mereka mendoakan kamu dan begitu juga kamu mendoakan mereka,adapun seburuk-buruk pemimpin kamu adalah yang kamu benci akan mereka begitu juga mereka benci pada kamu, kamu melaknat mereka dan mereka juga melaknat kamu.Ditanya RasulullahS.A.W: Wahai Rasulullah apakah tidak boleh kami melawan mereka sahaja dengan pedang? Maka jawab Nabi SAW.: Tidak boleh selagi mereka mendirikan solat dan apabila kamu melihat pemimpin kamu akan sesuatu yang kamu benci maka bencilah amalannya tapi jangan dia keluar dari taat. [Hadis Sahih: Riwayat Muslim]

Dari hadis-hadis di atas wajib kepada kita mentaati pemerintah walaupun mereka berlaku zalim selagi mana tidak melakukan kekufuran yang nyata. Adapun yang perlu dilakukan oleh muslim adalah menasihati pemerintah itu dan mengingkari maksiatnya ini sebagaimana dalam hadis yang lain:

”Dari Abu Ruqaiyyah Tamim bin Aus Ad-Dari R.A. bahawa Nabi SAW. telah bersabda: Agama (Islam) itu nasihat. Kami(Sahabat) berkata: Bagi Siapa? Baginda menjawab: Bagi Allah dan Kitab-Nya dan Rasul-Nya dan Pemimpin-peminpin umat Islam dan ‘Awamnya.” [Hadis Sahih: Riwayat Muslim dan Nasai]

Hikmah terus mentaati pemerintah dan tidak menggulingkan kerajaan

Hikmah petunjuk Nabi SAW. ini amatlah besar bagi maslahat umat di akhir Zaman.Hadis-hadis ini menunjukkan mukjizat Baginda SAW. kerana memberitakan perkara yang belum berlaku.

Dari segi politik ia mempunyai nilai siasah yang amat tinggi dan penuh licik. Apabila Umat terus mentaati pemerintah maka dengan sendirinya pemerintah tadi akan menjadi lembut hatinya apabila dilembutkan Allah S.W.T dan mahu ia mendengar cakap rakyatnya dan diterima nasihat mereka padanya.

Ini kerana pemerintah apabila rakyatnya itu mengisytiharkan keluar dari taatnya maka keraslah hatinya pada mereka dan engganlah ia mendengar lagi nasihat mereka. Jadi kewajiban menasihati pemerintah hanya akan berlaku apabila rakyat itu masih taat dan mengiktiraf kepimpinan pemerintah itu.

Adapun sebab berlakunya kezaliman pemerintah itu kerana rakyat menzalimi diri sendiri dan melakukan maksiat. Dalam sejarah kita lihat apabila rakyat mula terpengaruh dengan faham muktazilah maka Allah meletakkan Abdullah Al-Makmun sebagai Khalifah dan menjadi keraslah kerajaan atas Ahli Sunnah dan tersiksalah ulama’ Sunnah sehingga mereka kembali berpegang dengan sunnah maka Allah meletakkan Al-Mutawakkil ‘Alallah maka bersinarlah kembali cahaya Sunnah.

Nabi SAW. menasihati pemerintah dan mendoakan mereka hidayah dan keampunan dan rakyat pula hendaklah sentiasa mengislahkan diri dan memohon ampun supaya dengan berubahnya rakyat itu kepada baik maka Allah akan meletakkan juga pemerintah yang baik kepada mereka.

Antara hikmahnya juga terletak apabila Rasulullah SAW menyuruh kita jangan ikut perintah yang maksiat tetapi dalam masa yang sama terus menasihati dan mengiktiraf pemimpin itu maka dengan sendirinya apabila dia melihat rakyatnya tidak ikut perintahnya yang maksiat maka tidaklah lagi dia akan memerintah dengan maksiat bahkan akan menyuruh yang makruf jua.

Kita misalkan di Malaysia jika semua bangsa Melayu Islam ini dalam partai kerajaan lalu semuanya sebulat suara mengusulkan supaya kerajaan menegakkan hukum Allah maka sudah tentu ketika itu tiadalah bagi kerajaan itu dihadapannya melainkan menegakkan hudud dan qisas dan lainnya daripada undang-undang Islam.Wallahua’lam.

Syarat Boleh Memerangi Pemerintah

Apabila berlaku kekufuran yang nyata dan tiada pula Majlis Syura yang dapat mencegah kemungkaran itu seperti semuanya juga menyokong kekufuran itu maka wajiblah diperangi. Misalnya dia menghalalkan arak dan menyuruh orang meminumnya, menukar azan ke bahasa lain,menghalang solat Jamaah, Melarang puasa,melarang pemakaian tudung dan menutup aurat dan lain-lain perkara yang menyebabkan kufur Akbar yang menyebabkan pelakunya murtad wal’iyazubillah.

Subscribe to receive free email updates: