Pasang iklan murah bayar pulsa, klik disini
Pasang iklan murah bayar pulsa, klik disini

Makalah peran pers dalam masyarakat demokrasi - Makalah PKN


Makalah peran pers dalam masyarakat demokrasi - Makalah PKN


Berikut ini saya sajikan maklah Pendidikan kewarganegaraan tentang peran pers dalam masyarakat demokrasi khususnya di indonesia, anda bisa mendownload makalah tersebut dibawah ini,

Makalah peran pers dalam masyarakat demokrasi - Makalah PKN
Makalah peran pers dalam masyarakat demokrasi - Makalah PKN

Jangan lupa like juga Facebok FansPage Blog Mas Zidni, dan sering sering berkunjung ke blog ini, thx :D

Berikut ini adalah cuplikan isi dari Makalah peran pers dalam masyarakat demokrasi - Makalah PKN

Makalah peran pers dalam masyarakat demokrasi - Makalah PKN


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG
Salah satu ciri menonjol negara demokrasi adalah adanya kebebasan untuk berekspresi. Kebebasan berekspresi dapat terwujud dalam berbagai bentuk, seperti berkesenian, menyampaikan protes, atau menyebarkan gagasan melalui media cetak. Media ekspresi dan penyebarluasan gagasan yang banyak dikenal masyarakat adalah pers.
Dalam sejarah kehidupan masyarakat Indonesia, dunia pers tidaklah asing. Jauh sebelum Indonesia merdeka, awal kemunculan pers merupakan alat perjuangan bagi seluruh komponen masyarakat Indonesia dalam menyampaikan aspirasinya guna mencapai proklamasi kemerdekaan. Paska-Proklamasi kemerdekaan 1945, peranan pers sangat besar sebagai alat perjuangan dalam rangka menyebarluaskan informasi atau berita-berita ke seluruh pelosok daerah Indonesia bahkan penjuru dunia. dalam perkembangannya di Indonesia, dunia pers pernah mengalami pasang surut baik di era Liberal, Orde Lama, Orde Baru maupun Era Reformasi. Pada kehidupan masyarakat demokratis, salah satu peranan penting pers adalah sebagai penggerak prakarsa masyarakat, memperkenalkan usaha-usahanya sendiri, dan menemukan potensi-potensinya yang kreatif dalam usaha memperbaiki perikehidupannya.
Pers juga mengemban misi sebagai salah satu alat kontrol sosial terhadap pemerintah, telah mampu memberikan kontribusi guna melakukan koreksi dan perbaikan-perbaikan dalam melaksanakan pemerintahan. Oleh sebab itu, agar tidak terjadi pemberitaan yang menjurus fitnah, setiap insane pers telah dibekali Kode Etik Profesi Wartawan Indonesia yang harus dipatuhi. Kode Etik mencakup : 1. Kepribadian Wartawan Indonesia, 2. Pertanggung Jawaban, 3. Cara Pemberitaan dan Menyatakan Pendapat, 4. Pelanggaran Hak Jawab, 5. Sumber berita, 6. Kekuatan Kode Etik, dan 7. Pengawasan Penataan Kode Etik.
Era globalisasi dewasa ini telah memberi peranan yang lebih besar kepada dunia pers dalam menggalang prakarsa dan kreativitas warga masyarakat melalui berbagai infrastruktur teknologi informasi. Dunia pers dalam perspektif demokrasi telah menemukan jati diri dan dan kebebasannya yang mampu menembus batas-batas Negara baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, hokum, pertahanan keamanan, dan sebagainya. Oleh sebab itu, memasuki era globalisasi kita sebagai masyarakat demokrasi harus dapat mengevaluasi peranan pers dalam masyarakat demokrasi.
Dengan alasan tersebut tugas makalah ini tercipta. Sehingga membuat kami terus berusaha dan bekerja keras sebagai siswa dan generasi muda untuk menciptakan karya-karya yang kreatif agar bisa diterima oleh semu orang serta melalui tugas ini kami berharap teman-teman dan para pembaca lainnya dapat menerima tugas kami ini dengan baik dan selalu memberikan dorongan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini.



1.2. STANDAR KOMPETENSI
1.2.1. Mengevaluasi peranan pers dalam masyarakat demokrasi.

1.3. KOMPETENSI DASAR
1.3.1. Mendeskripsikan pengertian, fungsi, dan peran serta perkembangan pers di Indonesia.
1.3.2. Menganalisis pers yang bebas dan bertanggung jawab sesuai kode etik jurnalistik dalam masyarakat demokratis di Indonesia.
1.3.3. Mengevaluasi kebebasan pers dan dampak penyalahgunaan kebebasan media massa dalam masyarakat demokratis di Indonesia.






BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian, fungsi, dan peran serta perkembangan pers di Indonesia.

2.1.1. Pengertian Pers
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, pers adalah usaha percetakan dan penerbitan usaha pengumpulan dan penyiaran berita melalui surat kabar, majalah dan radio, orang yang bergerak dalam penyiaran berita, medium penyiaran berita, seperti surat kabar, majalah, radio, televisi atau film.

Pers (press) atau jurnalisme adalah proses pengumpulan, evaluasi dan distribusi berita kepada public. Sedangkan Kantor Berita adalah perusahaan pers yang melayani media cetak, media elektronik atau media lainnya serta masyarakat umum dalam memperoleh informasi.

Dalam perkembangannya pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam pengertian luas dan pers dalam pengertian sempit. Dalam pengertian luas, pers mencakup semua media komunikasi massa, seperti radio, televisi, dan film yang berfungsi memancarkan/ menyebarkan informasi, berita, gagasan, pikiran, atau perasaan seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain. Maka dikenal adanya istilah jurnalistik radio, jurnalistik televisi, jurnalistik pers. Dalam pengertian sempit, pers hanya digolongkan produk-produk penerbitan yang melewati proses percetakan, seperti surat kabar harian, majalah mingguan, majalah tengah bulanan dan sebagainya yang dikenal sebagai media cetak.


Pers mempunyai dua sisi kedudukan, yaitu: pertama ia merupakan medium komunikasi yang tertua di dunia, dan kedua, pers sebagai lembaga masyarakat atau institusi sosial merupakan bagian integral dari masyarakat, dan bukan merupakan unsur yang asing dan terpisah daripadanya. Dan sebagai lembaga masyarakat ia mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lembaga-lembaga masyarakat lainnya

Pers sebagai Medium Komunikasi
Ditinjau dari kerangka proses komunikasi, pers tidak lain adalah medium (perantara) atau saluran (channel) bagi pernyataan-pernyataan yang oleh penyampainya ditujukan kepada penerima yaitu khalayak. Dalam proses komunikasi melalui media terdapat 5 unsur atau komponen yang terlibat, yaitu (1) penyampai, (2) pesan, (3) saluran, (4) penerima, (5) efek. Pers hanya sebagai saluran bagi pernyataan umum. Yang bertindak sebagai penyampai bukan individu biasa seperti yang terdapat dalam komunikasi tatap muka, melainkan individu yang bekerja pada surat kabar, majalah, studio radio, televisi, dan sebagainya. Dalam penyampaian pernyataan tersebut ia tidak bertindak sebagai individu biasa, melainkan sebagai bagian atau mewakili media massa. Jadi ia sendiri tidak menampilkan atau mencantumkan namanya, seperti lazimnya dalam media massa. Ia adalah orang yang anonim.

Wilbur Schramm menyebutnya sebagai institutionalized person. Sekalipun harus diakui bahwa tidak semua individu bekerja secara anonim, sebab ada juga orang yang bekerja pada persuratkabaran secara terang-terangan, misalnya seorang kolumnis. Ia adalah orang yang secara periodik dengan menyebutkan atau menuliskan namanya dalam penyelenggaraan suatu rubrik tertentu. Seorang kolumnis dapat juga digolongkan sebagai opinion leader atau pembentuk pendapat umum. Karena namanya sudah merupakan jaminan bagi mutu tulisannya, dan tulisan itu dijadikan pedoman bagi pembaca-pembacanya yang setia. Bahkan pengaruh seorang kolumnis kadang-kadang sampai sedemikian besarnya, sehingga sebagai perseorangan ia mampu mempengaruhi kebijaksanaan politik pemerintahnya.


Pers sebagai Lembaga Masyarakat
Pers sebagai subsistem dari sistem sosial selalu tergantung dan berkaitan erat dengan masyarakat dimana ia berada. Kenyataan ini mempunyai arti bahwa di manapun pers itu berada, membutuhkan masyarakat sebagai sasaran penyebaran informasi atau pemberitaannya. Pers lahir untuk memenuhi keperluan masyarakat akan informasi secara terus menerus mengenai kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa besar atau kecil yang terjadi di dalam masyarakat.

Peranan dan fungsi pers selain melakukan pemberitaan yang obyektif kepada masyarakat, juga berperan dalam pembentukan pendapat umum. Bahkan dapat berperan aktif dalam meningkatkan kesadaran politik rakyat dan dalam menegakkan disiplin nasional. Peranan pers dan media massa lainnya yang paling pokok dalam pembangunan adalah sebagai agen perubahan. Letak peranannya adalah dalam membantu mempercepat proses peralihan masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern.




2.1.2. Fungsi Pers
Adalah sebagai “watchdog” atau pemberi isyarat, pemberi tanda-tanda dni, pembentuk opini dan pengarah agenda ke depan.

2.1.3. Peran serta perkembangan pers di Indonesia
Sejarah pers di Indonesia baru dimulai pada abad ke 20 ketika Rd. Mas Tirto Adhi Surjo menerbitkan mingguan Soenda Berita pada 17 Agustus 1903. Pada 1 Januari tahun 1907 Tirto dkk menerbitkan mingguan medan Prijaji dan sering mengkritik korupsi serta pemborosan terhadap pejabat belanda maupun pribumi, akibatnya dia sering dipenjara. Setelah merdeka harian Mas Tirto yaitu Indonesia Merdeka yang dipimpin Mochtar Lubis sering berbenturan dengan kebijakan politik dan penyelewengan- penyelewengan pemerintah bahkan pada tahun 1954 Presiden Soekarno pernah dikritiknya.
Dr.H.Krisna Harapap membagi perkembangan kemerdekaan pers dalam 5 periode, yaitu :
a. Perkembangan Pers Pada Era Colonial
Seperti dikemukakan di atas pers pada masa ini sering mengkritik pemerintah kolonial sehingga pembredelan dan ancaman hukuman terhadap pers acap kali terjadi, setelah proklamasi terjadi perebutan kekuasaan dalam berbagai bidang termasuk pers seperti : Soeara Asia (Surabaya), Tjahaja (Bandung), dan Sinar Baroe (Semarang). Pada bulan September 1945 pers RI makin kuat dengan ditandai terbitnya Soeara Mrdeka, Berita Indonesia, Warta Indonesia dan The Voice of free Indonesia. Pada saat agresi militer Belanda pers terbagi 2 yaitu yang terbit di kota dan desa, yang di kota sering mengalami pembredelan dari pihak Belanda seperti Waspada, Merdeka dan Mimbar umum sedangkan yang di desa antara lain Suara Rakyat, Api Rakyat, Patriot dan Penghela Rakyat serta menara.
b. Perkembangan Pers Pada Era Demokrasi Liberal (1945-1959)
Pada tahun 1946 pemerintah mulai membina hubungan dengan pers dengan merancang aturan-aturan tetapi karena masih mendapat gangguan Belanda maka RUU ini tidak kelar-kelar, baru pada tahun 1949 Indonesia mendapat kedaulatan pembenahan dibidang pers dilanjutkan kembali dan pers yang ada di desa dan kota bersatu kembali. Komite Nasional Pusat melakukan sidang pleno VI di Yogya pada tanggal 7 Desember 1949, yang pada dasarnya permerintah RI memperjuangkan pelaksanaan kebebasan pers nasional, yang mencakup perlindungan pers, pemberian fasilitas yang dibutuhkan pers & mengakui kantor berita Antara sebagai kantor beritanasional yang patut memperoleh fasilitas dan perlindungan. 15 Maret 1950 dibentuk panitia pers dan penyediaan bahanbahan dan halaman pers ditambah serta diberi kesempatan untuk memperdalam jurnalistik sehingga iklim pers saat ini tumbuh dengan baik terbukti dengan bertambahnya surat kabar berbahasa Indonesia, Cina dan Belanda dari 70 menjadi 101 buah dalam kurun waktu 4 tahun setelah 1949.

c. Perkembangan Pers Pada Era Demokrasi Terpimpin (1959-1966)
Era ini kebijakan pemerintah berpedoman pada peraturan penguasa perang tertinggi (peperti) No.10/1960 & penpres No.6/1963 yang menegaskan kembali perlunya izin tertib bagi setiap surat kabar & majalah dan pada tanggal 24 Februari 1965 pemerintah melakukan pembredelan secara masal ada 28 surat kabar di Jakarta dan daerah dilarang tertib serentak.

d. Perkembangan Pers Pada Era Orde Baru (1966-1998)
Pada masa ini pembredelan dan pengekangan terhadap pers semakin parah tercatat ada 102 kali pembredelan yaitu tahun 1972 50x, tahun 1972 40x, serta 12 penerbitan dibredel terkait peristiwa malari tanggal 15 Januari 1974. Pada saat itu Departemen penerangan seolah-olah menjadi pengawas di Indonesia yang mengharuskan SIT atau SIUPP bagi setiap surat kabar yang ada. Koran Detik, Tempo dan Editor menjadi fenomena terakhir dari sejarah pers yang dibredel yaitu tahun 1994.
e. Perkembangan Pers Pada Era Reformasi (1998-sekarang)
Pada tanggal 5 Juni 1998, kabinet reformasi di bawah presiden B.j.Habibie meninjau dan mencabut permenpen No.01/1984 tentang SIUPP melalui permenpen No.01/1998 kemudian mereformasi UU pers lama dengan UU yang baru dengan UU No.40 tahun 1999 tentang kemerdekaan pers dan kebebasan wartawan dalam memilih organisasi pers.

2.2. Menganalisis pers yang bebas dan bertanggung jawab sesuai kode etik jurnalistik dalam masyarakat demokratis di Indonesia.

Peranan pers adalah memberi informasi yang benar kepada publik tentang suatu peristiwa, pers adalah media yang dapat dengan bebas menginvestigasi jalannya pemerintahan dan melaporkan tanpa takut adanya penuntutan. Dalam masyarakat demokratis, rakyat bergantung pada pers untuk memberantas korupsi, memaparkan kesalahan penerapan kukum serta ketidak efisienan dan ketidak efektifan kerja sebuah lembaga pemerintah. Negara demokrasi ditandai adanya pers bebas, sedangkan kediktatoran penguasa ditandai adanya pembungkaman/pembredelan media masa.


Pasal 6 UU pers No 40 tahun 1999 tentang peranana pers mengatakan :
1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui,
2. Menegakan nilai-nilai demokrasi, mendorong penegakan supremasi hukum dan HAM, menghormati pluralism/kebhinekaan,
3. Mnengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat & benar,
4. Melakukan pengawasan ktiris, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum,
5. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

1. Kode Etik Pers
Dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik wartawan penyiaran tunduk kepada kode etik jurnalistik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kalau pemberitaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku maka meskipun bersinggungan dengan yang punya kekuasaan tetap akan selamat, meskipun ada juga yang tersandung tempok kokoh penguasa terbukti banyak kasus-kasus besar terbongkar seperti : skandal Watergate, Bank Century, Perang Vietnam dll.

a. Kode etik AJI (Analisi jurnalis Independen) mengatakan :
1. Jurnalis menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
2. Jurnalis selalu mempertahankan prinsip kebebasan berimbang dalam peliputan.
3. Jurnalis member tempat bagi pihak yang kurang memiliki daya & kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya.
4. Jurnalis hanya melaporkan fakta & pendapat yang jelas sumbernya.
5. Jurnalis tidak menyembunyikan informasi penting yang perlu diketahui masyarakat.
6. Jurnalis menggunakan cara-cara yang etis untuk memperoleh berita, foto dan dokumen.
7. Jurnalis menghormati hak narasumber untuk member informasi, off the record dan embargo.
8. Jurnalis segera meralaat setiap pemberitaan yang diketahui tidak akurat.
9. Jurnalis menjaga kerahasiaan sumber informasi konfidensial identitas korban kejahatan seksual dan pelaku tindak pidana dibawah umur.
10. Jurnalis menghindari kebencian, prasangka, sikap merendahkan, diskriminasi SARA, bangsa, politik, kecacatan dan latar belakang sosial lain yang negatif.
11. Jurnalisme menghormati privasi kecuali hal yang merugikan masyarakat.
12. Jurnalisme tidak menyajikan berita dengan mengumbar kecabulan, kekejaman, kekerasan dan seksual.
13. Jurnalisme tidak memanfaatkan posisi dan informasi yang dimiliki untuk mencari keuntungan pribadi.
14. Jurnalisme tidak dibenarkan menerima sogokan.
15. Jurnalisme tidak dibenarkan menjiplak.
16. Jurnalisme menghindari fitnah dan pencemaran nama baik.
17. Jurnalisme menolak campur tangan pihak lain mengenai hal di atas.
18. Kasus-kasus yang berhubungan dengan kode etik akan diselesaikan oleh Majelis kode etik.

b. Kode etik pers PWI
Kepribadian dan Integritas

Pasal 1
WI Berimtak kepada Tuhan YME, berjiwa Pancasila, taat pada UUD 1945, kesatria, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dan lingkungannya, mengabdi pada kepentingan bangsa dan negara serta terpecaya dalam mengemban profesinya.
Pasal 2
WI dengan penuh rasa tanggung jawab dan bijaksana mempertimbangkan patut tidaknya menyiarkan berita, tulisan atau gambar yang dapat membahayakan keselamatan bangsa dan negara agama.

Pasal 3
WI tidak menyiarkan berita, tulisan atau gambar yang menyesatkan, memutar balikan fakta, bersifat fitnah, cabul, sadis dan sensasi berlebihan.

Pasal 4
WI tidak menerima imbalan untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan berita/tulisan/gambar yang dapat menguntungkan/merugikan seseorang/pihak.

Dan seterusnya . . .



2.3. Mengevaluasi kebebasan pers dan dampak penyalahgunaan kebebasan media massa dalam masyarakat demokratis di Indonesia.

1. Kebebasan Pers
Kebebasan pers berarti kekebalan media komunikasi meliputi surat kabar, buku, majalah, radio dan televisi dari control/sensor pemerintah. Kebebasan pers dianggap sebagai hal yang fundamental dalam hak-hak individu, tanpa media yang bebas masyrakat & pemerintah yang demokratis tidak mungkin terwujud. Melalui pengakuan atas hak untuk berseberangan pendapat, pemerintah demokratis mendorong perubahan politik dan sosial yang damai dan tertib. Pembubaran Departemen Penerangan dan hilangnya SIUPP menandai sebuah perubahan besar dalam dunia pers Indonesia. Salah saut indikasinya adlah bertambahnya jumlah media masa baik media cetak, radio maupun televisi. Meskipun kebebasan pers membawa sisi negative seperti mengekspos pornografi & pornoaksi yang bertentangan dengan nilai norma yang ada di masyarakat.

Menurut Rommy Sugiantoro dalam etika ada 2 faktor yang berperan yaitu norma & nilai norma, perilaku etis yang kongkret merupakan penggabungan 2 hal tersebut. Namun yang dapat mengontrol etika pers adalah masyarakat sendiri.Menurut teori tanggung jawab sosial pers, pers yang etis bukan hanya memanfaatkan hak publik untuk mengetahui tetapi juga menunjukan tanggung jawab atas pemberitaannya terhadap publik. Etika yng harus dimiliki seorang jurnalis minimal sama dengan 9 prinsip sosial yang dimiliki profesi kemasyarakatan seperti :

1. Jangan sampai menghilangkan nyawa orang lain
2. Meminimalisi kerugian
3. Bersikap adil (pemberitaan yang adil)
4. Membantu mereka yang perlu perhatian segera
5. Memenuhi janji
6. Menghargai setiap sumber
7. Menghargai orang (menjaga kehormatan, kehidupan pribadi & kemandirian)
8. Jujur
9. Menghargai publik unuk mengetahui semua hal.

Melayani kepentingan umum juga merupakan prinsip yang harus dimiliki seorang jurnalis. Wartawan bertugas menjaga kelangsungan pers bebas, terus menggugat akuntabilitas kekuasaan, menghindari terjadinya kepanikan, menyuarakan mereka yang tidak mampu bersuara, mendidik masyarakat untuk mengatasi krisis.

2. Dampak Kebebasan Pers
Salah satu pilar demokrasi adalah kebebasan pers, dengan bebasnya pers menyapaikan informasi selain ada positif juga ada negativenya disamping berdampak juga terhadap insan dan lembaga pers itu sendiri seperti penyerangan, pengusiran, intimidasi, pembredelan yang sampai dengan tuntutan hukum.

Tindakan yang menjamin keterbukaan informasi
1. UU yang menjamin keterbukaan informasi
2. Meniadakan sensor politik
3. Standar profesi yang lebih tinggi para wartawan
4. Penetapan standar profesi, indepedensi & tanggung jawab
5. Penyesuaian ketentuan untuk pers bebas dan masyarakat umum
6. Fair dalam permberitaan terhadap penguasa
Jaminan kebebasan pers di Indonesia tertuang dalam:
1. UU No.40 Tahun 1999 tentang pers dan kode etik jurnalistik PWI dan AJI
2. UU No.32 Tahun 2002 tentang penyiaran.

Pemerintah RI dan DPR membuat UU No.32 Tahun 2002 tentang penyiaran. Dengan UU tersebut penyiaran berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, control dan perekat sosial. Serta UU tersebut juga menyerahkan pengaturan penyiaran kepada KPI (Komisi penyiaran Indonesia) untuk mengontrol penyiaran yang dilakukan media yang ada di Indonesia.

c. Penyalahgunaan Kebebasan Pers Dalam Masyarakat Demokratis di Indonesia
Beban tugas pers sangat besar sehingga diperlukan tanggung jawab yang berasal dari pengelola pers, pemilik dan para wartawannya. Saat ini suara masyarakat terhadap pers bertambah keras dan kritis kalau terjadi pemberitaan atau tingkah laku insane pers yang tidak proporsional jadi sudah seharusnya pers tidak mengabaikan kritik dan protes masyarakat dengan melakukan reflexi dan koreksi kedalam.
Pertanggung jawaban pers diberikan secara hukum. Dalam KUHP (pernah dikumpulkan oleh Menpen Moh. Yunus dalam buku biru tahun 1998), terkumpul pasal-pasal pidana yang bias menjerat peras, diantaranya menyangkut pencemaran nama baik, menyebarkan rasa permusuhan dan penghinaan. Pertanggung jawaban lainnya adalah pertanggung jawaban wartawan, pemilik dan pengelola pers yang disebut pertanggung jawaban etika. Oleh karena itu yang namanya control tetap diperlukan baik oleh masyarakat maupun pemerintah.

Kontrol yang paling umum di dunia adalah dengan sensor dan di Indonesia selain sensor ada Depen, UU pers, penerbitan SIUPP hingga yang ekstrim pembredelan. Secara umum ada 5 ada 5 mengapa buku, majalah atau koran dilarang beredar dikita, yaitu 1.Alasan Politik 2.Alasan Agama 3.Alasan Ras 4.Alasan Pornografi 5.Alasan Penerbitan dalamm aksara asing. Salah satu kelemahan pemerintah kita adalah tidak adanya koordinasi antara lembaga-lembaga pemerintah dalam mengambil kebijakan pelarangan buku atau pers disamping itu juga lemahnya penguasaan bibliografi (usaha mengetahui buku) apa saja yang pernah diterbitkan, perpustakaan yang memilikinya yang bagipemerintah kita tidak mungkin dilakukan sebab tidak ada UU wajib simpankarya cetak (UU Deposit) yang mewajibkan setiap penerbit mengirimkan contoh terbitannya (biasanya 2 eksemplar) ke perpustakaan yang ditunjuk (biasanyaperpustakaan nasional).

Saat ini tidak ada satu negara pun di dunia yang terang-terangan menyebutkan sensor sebagai kebijakan resmi pemerintah. Hal ini terlihat dari konvenan dan deklarasi yang telah disahkan mengenai kebebasan dan HAM seperti :
1. Piagam PBB (1945)
2. DUHAM PBB (1948)
3. Konvenan Hak-hak politik dan sipil PBB (1966)
4. Konvenan tentang Hak-hak ekonomi dan Sosbudb (1966)
5. Konvenan HAM Eropa (1953)
6. Akta Final Helsinki (1975)
7. Konvenan HAM Amerika (1978).



BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
pers merupakan pilar demokrasi keempat setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif. pers sebagai kontrol atas ketiga pilar itu dan melandasi kinerjanya dengan check and balance. untuk dapat melakukan peranannya perlu dijunjung kebebasan pers dalam menyampaikan informasi publik secara jujur dan berimbang. disamping itu pula untuk menegakkan pilar keempat ini, pers juga harus bebas dari kapitalisme dan politik. pers yang tidak sekedar mendukung kepentingan pemilik modal dan melanggengkan kekuasaan politik tanpa mempertimbangkan kepentingan masyarakat yang lebih besar.

Subscribe to receive free email updates: