Pasang iklan murah bayar pulsa, klik disini
Pasang iklan murah bayar pulsa, klik disini

Demokrasi Pendidikan di Indonesia

Demokrasi Pendidikan di Indonesia

Gloabalisasi adalah suatu keniscayaan yang takkan terhindarkan. Dan bangsa Indonesia harus mengarungi arus globalisasi tersebut. Membabi buta dan membebek pada globalisasi akan menjadikan pecundang dalam proses globalisasi. Sebagaimana yang dikutip oleh Zamroni dari Gibson-Graham globalisasi meruapakan suatu konsep yang sudah masuk dalam pikaran masyarakat, dan merupakan suatu fenomena yang mengandung suatu perubahan yang bersifat majemuk dan drastis dalam keseluruhan aspek kehidupan masyarakat, khusunya aspek ekonomi, politik dan kultural.

Dari aspek ekonomi,perekonomian di Indonesia bergerak ke arah perdagangan bebas, hal ini memperbesar peran tangan-tangan asing untuk menentukan nasib negara-negara miskin. Aspek social politik Indonesia bergerak dari sentralisasi kearah desentralisasi, kehidupan politik dan masyarakat semakin demokratis, kebebasan berpendapat dan berserikat semakin berkembang, dan pers semakin kokoh. Aspek cultural ditunjukan dengan adanya perubahan perilaku masyarakat termasuk dalam berkonsumsi. Semakin deras aliran informasi antar bangsa dan semakin intensnya komunikasi yang terjadi baik dalam sekala nasional maupun internasional.
Globalisasi berdampak luas menyusup dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Dampak tersebut mengakibatkan semakin terpuruknya Negara-negara berkembang dan semakin mengokohkan Negara-negara maju. Hal ini dikarenakan negara-negara maju memegang monopoli lima bidang yakni, teknologi, pasar uang dunia, kekuasaan untuk memanfaatkan sumberdaya alam, media komunikasi, senjata penghancur masal. Dan bagaimanakah dampak globalisasi ini pada pendidikan?

Memasuki abad ke-21 isu tentang perbaikan sektor pendidikan di Indonesia mulai mencuat ke permukaan. Bahkan upaya advokasi untuk jalur pendidikan yang dikelola oleh beberapa departemen teknis, dengan tuntunan social equity sangat kuat, karena semua jenis, jalur dan jenjang pendidikan merupakan unsur-unsur yang memberikan kontribusi terhadap rata-rata hasil pendidikan secara nasional. Dengan demikian, kelemahan proses dan hasil pendidikan dari jalur pendidikan akan mempengaruhi proses indeks keberasilan pendidikan secara keseluruhan.
Bersamaan dengan hal itu, prestasi pendidikan di Indonesia tertinggal jauh di bawah negara-negara lainnya, baik dalam aspek angka partisipasi pendidikan, maupun rata-ratanya lamanya setiap anak bersekolah. Bahkan dilihat dari indeks SDM, yang salah satu indikatornya adalah sector pendidikan, posisi Indonesia kian turun dari tahun ke tahun. Padahal Indonesia kini sudah menjadi bagian dari masyarakat dunia. Lemahnya SDM hasil pendidikan berdampak pada lambannya Indonesia bangkit dari keterpurukannya dalam sektor ekonomi yang merosot secara signifikan pada tahun 1998. Hal ini diakibatkan oleh kekeliruan dalam pembangunan yang berjalan cukup lama pada masa orde baru yang menekankan pada pembangunan fisik dan kurang memperhatikan pembinaan sumber daya manusia. Dan hal tersebut berdampak besar terhadap perkembangan pendidikan.
Globalisasi  merambah dunia pendidikan melalui beberapa bentuk. Pertama, efisiensi dan dan produktifitas tenaga kerja senantiasa dikaitkan latar belakang pendidikan yang dimiliki. Kedua, terjadi pergeseran kurikulum yang bersifat child centered atau subject  centered  berubah kearah kurikulum yang bersifat economy-centered vocational training. Ketiga, pendidikan bergeser dari pelayanan umum menjadi komoditas ekonomi. Akibatnya peran, kemampuan dan tanggung jawab pemerintah semakin terbatas.

Hal tersebut membentuk pola pikir materialistic terhadap masyarakat, yang menimbulkan konsekwensi pendidikan bahwa segala aspek pendidikan akan diarahkan dan difokuskan untuk mengembangkan pertumbuhan ekonomi sehingga hal-hal yang bersifat noneconomic akan dikesampingkan. Dan hal ini akan membentuk focus  lembaga pendidikan pada client dan customer yang memiliki arti “donator”. Sehingga lembaga pendidikan akan senantiasa didikte oleh kekuatan penyandang dana dan tidak lagi mempersoalkan masalah etika dan pengkajian yang kritis.
Selain itu lembaga-lembaga pendidikan akan dipegang oleh orang-orang yang mempunyai modal, dan orang-orang yang kurang mampu akan mendapatkan pendidikan yang ala kadarnya. Dan terciptalah suatu pandangan bahwa pendidikan milik orang yang berduit. Dapat dilihat dari Indikasinya, yakni bisnis pendidikan mulai dirasakan. Maraknya pembukaan program ekstensi atau non-reguler di PTN (Perguruan Tinggi Negeri) ada kecenderungan untuk memperoleh dana ketimbang untuk demokratisasi pendidikan. Sehingga pendidikan semakin elitis. Membesarnya pemungutan biaya yang relatif tinggi tampaknya belum diikuti dengan peningkatan mutu pendidikan. Karena nuansa bisnisnya semakin menguat, maka orang juga mulai mempertanyakan eksistensi lembaga pendidikan sebagai lembaga pelayanan publik. Fenomena lain berbagai gedung pendidikan beralih fungsi menjadi pusat bisnis.
Masalah mahalnya pendidikan antara lain disebabkan kurang adanya komitmen dari pemerintah maupun partai politik untuk memprioritaskan bidang pendidikan. Ini terlihat dari anggaran pendidikan yang sangat minim. Negara sebagai penanggung jawab utama pendidikan nasional seharusnya menyediakan fasilitas pendidikan yang realistik dan memadai. Secara normatif dalam sejarah pernah ada kebijakan negara yang mengamanatkan anggaran pendidikan 25% dari APBN (Tap MPRS No. XXVII /MPRS/1966). Begitu pula di era reformasi UUD 1945 mengamanatkan anggaran pendidikan 20 % dari APBN. Dalam kenyataan empirik dana pendidikan dewasa ini diperkirakan hanya sekitar 4 % dari APBN.

Pendidikan Indonesia telah didominasi politik yang merupakan akibat adanya transisi politik dari system otoriter ke system demokrasi. Pendidikan yang semula dikelola secara sentralisasi berubah kea rah system desentralisasi. Dan kewenangan pengambilan keputusan didistribusikan ke pemerintah propinsi, pemerintah kota bahkan didistribusikan lansung ke sekolah. Hal ini diharapkan akan lebih sesuai dengan kebutuhan sekolah dan dapat meningkatkan proses demokratisasi dengan mendorong partisipasi masyarakat. Akan tetapi terdapat berbagai hambatan yang terutama disebabkan oleh kalangan birokrat sendiri yang disebabkan mereka ini tidak memahami dengan benar hakekat desentralisasi pendidikan. Bisa disebut kontra produktif dengan upaya demokratisasi.
Disamping itu, dunia pendidikan Indonesia masih terjerat pada hal-hal teknis, warisan dari orde baru, seperti penekanan yang berlebihan terhadap standar yang dicapai peserta didik, kualitas kelulusan harus dapat diukur dan diperbandingkan baik didalam sekolah, propinsi, maupun luar propinsi, dan menegakkan disiplin atasperaturan-peraturan yang bersifat birokratis dari pada edukatif.
Selain itu, selama ini pendidikan menanamkan pandangan bahwa belajar adalah untuk menghadapi ujian. Ujian merupakan derajat tertinggi yang harus dikuasai dan dilalui. Makna belajar sudah menjadi semakin sempit dan dangkal. Pendidikan melupakan betapa pentingnya memperhatikan dan memberikan penghargaan kepada peserta didik dalam rangka mengembangkan potensi yang dimiliki masing-masing individu secara optimal.
Dalam pergerakan arus globalisasi, pendidikan di Indonesia menghadapi dua masalah besar sekaligus, yakni persoalan internal dan eksternal. Secara internal  pendidikan di Indonesia masih dihadapkan dengan synergy beragai regulasi yang dihasilkan, lemahnya synergy berbagai kebijakan system yang telah dihasilkan oleh pemerintah. Sedangkan secara eksternal, berbagai tantangan dan peluang justru menunggu peningkatan kualitas hasil pendidikan agar mereka kopentitif. Dan untuk itu pendidikan di Indonesia ditutut untuk menghasilkan lulusan yang kopetitif yang memiliki skill, keterampilan dan keahlian yang sesuai dengan kebutuhan pasar.
Skill dan keterampilan adalah hak semua anak bangsa, semua siswa berhak memperoleh keterampilan, dan skill untuk memasuki pasar tenaga kerja sebagaimana mereka juga berhak untuk memasuki jenjang pendidikan yang stinggi-tingginya. Untuk itu, lembaga pendidikan harus mempersiapkan para siswa dengan berbagai pengalaman, wawasan, keterampilan serta basis keilmuan yang memadai. Sekolah bukanlah sebuah formalitas untuk memiliki ijazah, melainkan proses penguatan kompetensi.


Subscribe to receive free email updates: